SUARA RAKYAT - Dunia maya kembali menyuguhkan kisah yang mengejutkan, kali ini melibatkan seorang pengorder yang berusaha memanipulasi sistem keuangan melalui jasa seorang hacker. Kasus ini berawal ketika pengorder menghubungi seorang hacker melalui mediator dan menawarkan proyek pergeseran rekening yang melibatkan transfer sejumlah uang yang cukup besar. Dengan iming-iming imbalan, pengorder meyakinkan hacker bahwa rekening yang akan diproses adalah miliknya dan semuanya aman untuk dijalankan.
Namun, setelah menerima pembayaran uang muka (DP) sebesar 250 juta rupiah, hacker yang sudah mulai bekerja segera memeriksa informasi rekening yang dimaksud. Ketika mengecek rincian lebih lanjut, hacker merasa ada yang janggal. Nama pemilik rekening yang tercantum tidak sesuai dengan nama pengorder. Merasa ada indikasi penipuan dan juga mengetahui bahwa tindakan yang diminta melanggar hukum, hacker menolak untuk melanjutkan pekerjaan tersebut.
Meski hacker menolak, pengorder tidak tinggal diam. Dalam upaya memaksa hacker untuk menyelesaikan pergeseran rekening tersebut, pengorder melakukan intimidasi. Pengorder bahkan berusaha menekan hacker untuk tetap melanjutkan pekerjaan ilegal itu, meskipun jelas-jelas itu merupakan pelanggaran hukum yang bisa berujung pada jeratan pidana.
Siapakah yang bersalah dalam kasus ini?
Meskipun kedua belah pihak terlibat dalam aktivitas ilegal, si pengorder adalah pihak yang paling bertanggung jawab dan bersalah dalam kasus ini. Tindakan pengorder yang berusaha memanipulasi sistem keuangan dengan meminta hacker untuk melakukan pergeseran rekening yang melanggar hukum jelas merupakan tindak pidana. Mengorder atau memfasilitasi kegiatan pergeseran rekening yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ilegal adalah pelanggaran berat yang dapat dikenakan pasal tentang penipuan, penggelapan, dan akses ilegal terhadap sistem keuangan.
Hukum yang berlaku di Indonesia menegaskan bahwa siapapun yang terlibat dalam tindak pidana ini, baik sebagai pengorder maupun pelaku aktif, dapat dikenakan sanksi hukum. Berdasarkan peraturan yang ada, hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pengorder adalah pidana penjara, denda, atau keduanya. Jika terbukti bersalah, ia dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 6 tahun dan denda hingga Rp 1 miliar sesuai dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Undang-Undang ITE yang berlaku di Indonesia.
Kasus ini menegaskan bahwa meskipun sering kali banyak pihak yang terjebak dalam dunia maya, hukum tidak pernah mengenal kompromi untuk tindakan ilegal. Bahkan dalam hal dunia digital, setiap tindakan yang melanggar hukum akan tetap dikenakan sanksi tegas. Hacker yang menolak ikut serta dalam tindakan ilegal ini dapat dibebaskan dari segala tuduhan, sementara si pengorder harus siap menerima akibat atas tindakannya yang mencemarkan dunia maya dan sistem keuangan.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa godaan untuk mencari jalan pintas dalam urusan finansial tidak hanya merugikan pihak yang terlibat, tetapi juga melanggar hukum yang berlaku.